'Presiden Saja Tidak Punya Hak Meminta Hasil Rekaman Pemeriksaan Miryam, Apalagi DPR'

Posted By DETIK UTARA on Sabtu, 29 April 2017 | April 29, 2017

'Presiden Saja Tidak Punya Hak Meminta Hasil Rekaman Pemeriksaan Miryam, Apalagi DPR'
Suasana Sidang Paripurna ke-22 DPR di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/4/2017). Rapat paripurna DPR tersebut belum membahas surat permohonan hak angket untuk membuka rekaman pemeriksaan KPK terhadap eks anggota Komisi II Miryam S. Haryani pada kasus dugaan korupsi e-KTP. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNSOSIAL.BLOGSPOT.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPR yang juga satu di antara penandatangan usul hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Fahri Hamzah, banjir kecaman.

Selain disebut asal mengetukkan palu tanda setuju pada sidang paripurna DPR, Jumat (28/4/2017), Fahri juga dituding menabrak ketentuan mengenai hak angket yang diatur undang-undang.

Peniliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donald Fariz menyebut hak angket (hak penyelidikan) hanya terkait pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintah.
Hak angket tidak termasuk fungsi yudisial alias penegakan hukum.

Fariz merujuk Pasal 79 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kota/Kabupaten (MD3).

"Hak angket adalah hak penyelidikan yang diberikan kepada DPR sebagai institusi untuk melihat pelaksanaan Undang-Undang dan atau kebijakan pemerintah," kata Donal Fariz dalam diskusi bertajuk DPR Mengangkat KPK, di Menteng, Jakarta, Sabtu (29/4/2017).

Menurut Donal, jika yang melakukan pelanggaran adalah bawahan presiden sebagai entitas eksekutif, laporan pelaksanaan hak angket akan diberian kepada presiden..

Dalam Undang-undang MD3, kata Donal, hak angket diberikan kepada DPR terkait check and balances antara pemerintah dan DPR.

"Jadi bukan diberikan kepada wilayah yudisial. Anda coba bayangkan kalau DPR nggak puas, diangket semua itu putusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Bisa nggak keputusan MK dan MA itu diangket? Itu wilayah yudisial," kata Donal.


Sedang Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, Daniel Anzhar Simanjuntak menyatakan agar masyarakat mencatat nama-nama anggota DPR yang menandatangani usulan hak angket, begitu pula asal partainya.

Ia menyeru agar dalam pemilu mendatang, nama-nama anggota DPR itu tidak usah dipilih kembali.
"Sikap kami jelas, berulang kali menyuarakan kawal KPK untuk berani melakukan penegakkan hukum," ucap Daniel dalam acara diskusi yang sama, Sabtu.

Daniel melanjutkan pihaknya akan menghimpun kekuatan publik untuk menyatakan sikap mendukung KPK secara penuh.

"Kami mengajak publik untuk catat dan ingat siapa saja yang menandatangani hak angket ini supaya ada langkah politik," tegasnya.

Langkah politik yang dimaksud Daniel yakni publik tidak memilih kembali mereka dalam pemilu mendatang.

"Ingat semua partai yang ikut serta hak angket, itu karena jelas pengkhianatan pada pemberantasan korupsi di Indonesia dan jangan pilih mereka lagi," tambahnya.

Selain itu ia minta KPK tidak memperdulikan hak angket tersebut, karena jelas secara yuridis melanggar ketentuan undang-undang.

"Kami menyarankan KPK tidak usah peduli pada hak angket, jelas secara yuridis itu melanggar. Mana mungkin KPK membuka informasi yang sifatnya rahasia," terang Daniel.
Lebih Berguna Ruhut

Daniel melanjutkan apa yang diminta DPR yakni membuka rekaman hasil pemeriksaan terhadap Miryam S Haryani (anggota DPR dari Fraksi Hanura DPR) yang sifatnya rahasia.

Jangankan DPR, Presiden Jokowi pun tidak punya hak untuk meminta informasi tersebut.

"Presiden saja tidak punya hak untuk meminta informasi itu, karena informasi itu untuk penegakan hukum yang dirahasiakan. Saya menyarankan KPK untuk cuekin saja itu hak angket yang dibuat DPR," tambahnya.

Baca: Dinilai Menyalahi Undang-undang, ICW Gugat Hak Angket soal KPK

Donal Fariz secara khusus menyoroti Fahri Hamzah. Ia mengetuk palu saat sidang paripurna DPR untuk mengesahkan hak angket, padahal masih banyak anggota DPR yang melakukan protes.

"Sebagian besar sebenarnya berada pada posisi yang berseberangan dengan KPK. Sebagian kecil masih ada beberapa orang," kata Donal Fariz dalam diskusi bertajuk DPR Mengangket KPK, di Jakarta.

Donal hanya menyebut dua anggota Komisi III yang selalu mendukung kerja KPK adalah politikus Partai Demokrat Ruhut Sitompul (sudah diganti) dan Martin Hutabarat dari Fraksi Partai Gerindra.
"Dulu Ruhut Sitompul sering juga. Bagi saya Bang Ruhut itu walaupun lucu jauh lebih berguna dari pada Fahri Hamzah. Dia punya keberpihakan, ada isu yang mau dituntaskan, Rancangan Undang-undang KUHP dan KUHAP yang mau didorong. Ia lebih komitmen," kata Donal.

Donal Fariz mengatakan rapat paripurna tidak sah dalam mengambil keputusan karena anggota DPR yang hadir tidak sesuai syarat Undang-undang MD3 yakni separo plus satu.

Persetujuan juga harus mendapat dukungan separuh plus satu. Donal mengatakan syarat kuorum tersebut tidak bisa digunakan melalui daftar hadir karena tanda tangan bisa dipalsukan.

"Dia bilang sebagian besar fraksi setuju, tunggu dulu. Persetujuannya dari anggota yang hadir, bukan fraksi. Itu beda lho," katanya.
Rohani Cabut Tanda Tangan 
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar menanggapi adanya kader PKB di parlemen yang ikut meneken usulan hak angket.

Ia menegaskan anggota DPR tersebut, Rohani Vanath, telah mencabut tanda tangannya dalam berkas usulan hak angket.

"Jadi jauh sebelum sikap fraksi, dia sudah mundur. Setelah fraksi punya sikap, kan fraksi (awalnya) tidak tahu, setelah itu dicabut," ujar Muhaimin di Kantor DPP PKB, Jakarta, Sabtu (29/4/2017).
Muhaimin kembali menegaskan sikap partainya tetap, yakni menolak hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi itu.

"Sikap kami kan sudah jelas, tidak mau dilaksanakan angket," kata Muhaimin.
Fraksi Gerindra DPR juga menolak hak angket.

Juru Bicara Fraksi Gerindra Sodik Mudjahid mengatakan hak angket menyangkut pelaksanaan suatu UU atau kebijakan strategis pemerintah.

"Dalam penyidikan kasus e-KTP oleh KPK, UU atau kebijakan mana yang dilanggar KPK dan merugikan kehidupan berbangsa serta dan bernegara?" ujar Sodik.

Fraksi Gerindra, kata Sodik, juga mempertanyakan kepentingan masyarakat dan negara yang dirugikan oleh langkah dan kebijakan KPK.

Sodik menilai hak angket yang diajukan saat ini akan menghambat proses kerja KPK.
"Gerindra menilai KPK tidak perlu diganggu ketika sedang fokus melakukan pemberantasan korupsi di tanah air. Persoalan hukum diselesaikan secara hukum. Intervensi politik ada batasnya. Gerindra menghormati dan menjunjung tinggi supremasi dan proses hukum," ungkap Wakil Ketua Komisi VIII DPR itu. (tribunnetwork/ric/fer)
Blog, Updated at: April 29, 2017

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts